Penggunaan drone di medan perang

Kutipan dari http://syamina.org/

DRONE : Perang Tanpa Moralitas Ala Amerika

“Personil militer muda yang tumbuh bersama video games, kini membunuh manusia sungguhan dengan menggunakan joystick. Jauh dari konsekuensi kemanusiaan atas tindakan mereka, bagaimana mungkin generasi militer ini akan menghargai hak untuk hidup? Akankah membunuh kini menjadi pilihan yang lebih menarik dibandingkan menangkap? Akankah standar pengumpulan bukti intelejen hanya digunakan sebagai pembenaran atas sebuah pembunuhan? Akankah jumlah
kematian rakyat sipil yang bisa diterima meningkat?”

Drone adalah pesawat tanpa awak yang dikendalikan oleh pilot yang berada di tanah atau terbang secara otonom, mengikuti misi yang telah diprogram sebelumnya. Sebutan ‘drone’ diberikan dari suara dengungan yang keluar dari pesawat tersebut saat mengudara. Ada banyak jenis pesawat drone militer, namun secara umum mereka dibagi menjadi dua kategori: mereka yang digunakan untuk pengintaian, pengawasan, dan tujuan intelejen (dalam istilah militer dikenal dengan sebutan ISTAR), dan mereka yang dipersenjatai dan bisa digunakan untuk meluncurkan misil dan bom.

Dibandingkan dengan pesawat tempur tradisional, drone lebih murah dan mampu membawa sensor dan kamera yang bisa melihat siang dan malam. Drone bisa terbang sampai ketinggian 33.000 kaki tanpa kontrol tekanan udara dan suhu. Mereka juga bisa membawa sejumlah bahan bakar yang mampu membuat mereka terbang selama 40 jam. Tidak seperti pilot, drone tidak pernah kelelahan, dan bisa merekam video atas peristiwa yang terjadi di bawahnya dan menyiarkannya ke pasukan darat secara real time. Generasi baru drone yang terbang dengan ketinggian tersebut tidak bisa terlihat dan tak terdengar, jadi serangannya benar-benar tak terduga.

Pesawat drone yang digunakan di Afghanistan oleh AS dan Inggris diluncurkan dari landasan udara Kandahar dan di kendalikan oleh operator di gurun pasir Nevada, 7.500 mil dari Afghanistan. Pada awalnya, pasukan pendukung di lapangan meluncurkan drone, kemudian setelah pesawat tersebut mengudara, kontrol diambil alih sebuah tim yang terdiri dari tiga operator, duduk di depan layar komputer di dalam sebuah ruangan yang didesain khusus. Satu operator ‘menerbangkan’ drone tersebut, operator kedua mengendalikan dan memonitor kamera dan sensor, dimana gambar muncul di layar operator secara real time lewat satelit, sedangkan operator ketiga melakukan kontak dengan “pelanggan”: pasukan lapangan dan para komandan di daerah perang. Hanya dengan memencet tombol joystick, operator tersebut bisa menembakkan misil atau menjatuhkan bom ke arah target yang ditunjukkan di layar komputer.

Fungsi Drone

Drone digunakan untuk tiga fungsi utama: pertama, saat pasukan darat menyerang atau saat mendapat serangan, drone akan menggunakan bom dan misil sebagaimana pesawat militer biasa untuk membantu pasukan darat. Kedua, melakukan patroli secara rutin di langit Afghanistan, mengamati ‘pola kehidupan’ di wilayah yang diawasi selama 24 jam sehari—dimana saat operator melihat adanya aktivitas yang mencurigakan, ia bisa melancarkan bom dan misil.[1] Ketiga, mereka digunakan dalam sebuah misi yang sudah dirancang sebelumnya untuk melakukan pembunuhan atas terduga militan.[2]

Sejarah Perkembangan Drone

Drone bukanlah barang baru. Ia dikembangkan pada pertengahan abad ke-20 dan digunakan terutama untuk fungsi pengawasan militer. Drone sebagai pengawas banyak digunakan oleh pasukan NATO dalam konflik Balkan dan oleh pasukan Amerika Serikat pada perang Teluk tahun 1990-an. Israel juga menggunakan drone pengintai (reconnaissance drones) di Lebanon pada tahun 1982 dan tahun 1996.

Pada saat perang di Kosovo tahun 1999, terbesit pikiran NATO untuk menggunakan misil pada pesawat tanpa awak.[3] Kemudian, seiring dengan serangan 11 September 2013, penembakan misil dari drone mulai dilakukan. Misil pertama yang ditembakkan dari drone terjadi di Afghanistan pada bulan November 2001. Pada tahun 2002, serangan drone kembali dilakukan oleh Amerika Serikat untuk menyerang terduga Al-Qaeda di Yaman.[4] Selain itu ia juga digunakan di Irak sebelum dimulainya perang pada tahun 2003.[5]

Sampai tahun 2012, sekitar 76 negara mulai mengembangkan atau menggunakan drone.[6]

DAMPAK KEMANUSIAAN

“Anda bisa melihat objek kecil itu berlarian, dan kemudian setelah terjadi ledakan, ketika asap sudah mulai pudar, yang terlihat hanyalah puing dan barang-barang yang hangus terbakar.”

(Mantan pejabat CIA)[7].

Peningkatan penggunaan drone berbanding lurus dengan nyawa yang melayang sebagai akibat dari serangan tersebut. Beberapa laporan menunjukkan banyaknya korban sipil, termasuk anak-anak. Sifat drone yang tidak bisa ditebak dan cenderung serampangan berperan dalam menciptakan iklim ketakutan di tengah-tengah masyarakat yang menjadi target dan membangkitkan kebencian masyarakat kepada Amerika Serikat.

Tingginya Kematian Korban Sipil

Korban sipil akibat serangan drone sangat sulit untuk dicatat secara akurat. Berdasarkan hitungan Amerika Serikat sendiri menyatakan bahwa sekitar sepertiga dari korban drone adalah rakyat sipil[8], namun menurut Pakistan jumlah korban sipil adalah sebanyak 50 orang untuk setiap satu orang korban militan.[9]

Menciptakan Iklim Ketakutan

Frekuensi dan sifat serangan drone yang tak terduga membuat penduduk di daerah target mengalami iklim ketakutan yang konstan. Pada bulan Agustus 2009, seorang dokter Norwegia yang pernah bekerja di Rumah Sakital-Shifa Kota Gaza selama operasi Israel ‘Cast Lead’ berkata, “Setiap malam warga Palestina di Gaza menghidupkan kembali mimpi terburuk mereka ketika mereka mendengar drone; Ia tidak pernah berhenti dan Anda tidak pernah tahu apakah itu adalah sebuah pesawat pengintai ataukah ia akan meluncurkan serangan roket. Bahkan suara di kota Gaza terdengar menakutkan, yang berasal dari suara pesawat drone Israel di langit.” Dr David Kilcullen, mantan penasihat Pentagon untuk Jenderal David Petraeus, meminta Komite Angkatan Bersenjata di Kongres Amerika Serikat untuk menghentikan serangan pesawat drone di Pakistan, karena mereka “sangat menjengkelkan bagi penduduk dan telah membangkitkan amarah yang membuat masyarakat bisa bergabung dengan para ekstremis”.[10]

Trauma Keluarga

Pada bulan Mei 2010, Kathy Kelly dan Josh Brollier, co-koordinator Voices for Creative Non-Violence melaporkan sejumlah serangan pesawat drone di Waziristan Utara, Pakistan Barat, seperti yang diceritakan kepada mereka oleh seorang saksi mata:

“Pekerja sosial tiba di rumah yang terkena serangan, di Miranshah, sekitar pukul 9:00 (Mei 2009)… Serangan drone telah menewaskan tiga orang. Tubuh mereka sepenuhnya terbakar. Mereka hanya bisa diidentifikasi melalui kaki dan tangan mereka. Satu tubuh masih terbakar ketika dia sampai disana. Kemudian dia baru mengetahui bahwa mayat yang hangus dan termutilasi itu ternyata adalah kerabatnya sendiri, dua pria dan seorang bocah berusia tujuh atau delapan tahun. Mereka tidak bisa mengambil bagian yang hangus dalam satu potong. Kemudian mereka memindahkan bagian tubuh tersebut ke atas plastik. Tiga sampai empat orang lainnya bergabung untuk membantu menutupi mayat dan membawa mereka ke kamar mayat. Namun, tiba-tiba para relawan dan penonton terdekat diserang kembali oleh drone lainnya, 15 menit setelah serangan pertama. Enam orang lagi meninggal. Salah satunya adalah saudara dari orang yang tewas dalam serangan awal.”

Masa Kecil yang Dihancurkan

Keluarga Khan pernah mendengarnya. Mereka telah tertidur selama satu jam ketika rudal Hellfire menembus gubuk mereka pada malam bulan Agustus tahun 2008. Asap hitam dan debu mencekik napas para penduduk kampung saat mereka menggali reruntuhan. Kaki Zeerek yang baru berusia empat tahun itu terputus. Saudara perempuannya Maryam, 3 tahun, hangus. Keduanya tewas. Ketika sepupu mereka Irfan, 16 tahun, melihat mereka, dengan lembut ia memeluk dan mencium wajah mereka, sebelum akhirnya pingsan.[11]

Dampak Sosial

Serangan drone memiliki efek yang sangat mengerikan pada struktur sosial masyarakat di mana serangan terjadi. Drone tidak hanya menyasar  target mereka, tetapi ia juga menyebarkan ketakutan dan kecurigaan di kalangan masyarakat dengan cara yang tak terduga. Seperti yang disampaikan oleh Brian Glyn Williams, drone di Pakistan sering digambarkan oleh penduduk setempat sebagai machays (tawon) karena sengatannya atau bangana (guntur) karena kemampuannya untuk menyerang tanpa peringatan sebelumnya.[12]

Drone tidak hanya menakuti target mereka, namun juga penduduk desa tak berdosa yang berada di tempat yang salah pada waktu yang salah ketika serangan terjadi. Drone menghasilkan ‘gelombang teror’ pada para penduduk yang oleh beberapa ahli kesehatan mental disebut sebagai ‘kecemasan antisipatif’ (anticipatory anxiety).[13]

Ketakutan ini menyebabkan masyarakat sipil menahan diri dari membantu mereka yang terluka dalam serangan drone. Drone juga telah menghambat aktivitas ekonomi dan sosial, dan bahkan membuat orang tua enggan menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah yang mungkin sengaja ditargetkan. Tak hanya itu, drone juga telah memicu ketidakpercayaan komunal dalam masyarakat. Sasaran serangan drone seringkali menuju pada titik yang dberikan oleh informan yang dibayar untuk menempatkan chip di rumah atau kendaraan milik orang yang diduga teroris. Namun tidak ada yang menjamin apakah chip ini benar-benar diarahkan kepada pelaku terorisme yang nyata atau justru kepada dengan orang-orang yang mempunyai masalah pribadi dengan informan tersebut. Rumor mengenai chip ini telah menghasilkan tingkat ketidakpercayaan yang sangat tinggi di masyarakat. Semua saling menduga dan saling curiga sebagai mata-mata Amerika Serikat.

Sementara drone berputar di atas menyebarkan ketakutan ke seluruh penduduk dan mengganggu kehidupan normal, kecurigaan yang dihasilkan oleh chip ini telah mengikis rasa saling percsaya yang mendasari kehidupan beragama, ekonomi dan politik dalam masyarakat tersebut.

DAMPAK PADA OPERATOR

Dampak drone tak hanya terjadi pada masyarakat sipil yang menjadi target serangan, namun dampak psikologis juga terjadi pada operator pesawat drone tersebut. Bukan karena risiko kematian atau cedera. Dengan lokasi yang ribuan mil jauhnya dari arena perang, mereka mungkin menganggap bahwa mereka hanya mengambil bagian dalam sebuah permainan komputer.

Beberapa orang terlibat dalam operasi drone: pilot yang tidak pernah mengudara tapi menembakkan rudal, operator sensor yang memandu rudal menuju target mereka, dan koordinator misi.[14] Selain itu, ada banyak lagi yang terlibat dalam analisis operasi.

Angkatan Udara AS melakukan survei yang menunjukkan bahwa 46% dari pilot drone Reaper dan Predator, serta 48% operator sensor Global Hawk menderita stres operasional yang tinggi.  Selain itu mereka juga mengalami ‘tekanan klinis’, yaitu kecemasan, depresi atau stres yang cukup berat yang mempengaruhi prestasi kerja atau kehidupan keluarga mereka. Pekerjaan yang intensif selama delapan jam juga mempengaruhi kemampuan mereka untuk berkonsentrasi dan berpikir jernih.

Stres yang sering terjadi lebih pada stres ‘operasional’ daripada stres karena ‘pertempuran’. ‘Pertempuran’ yang dimaksud di sini adalah video yang berisi pembunuhan pejuang musuh. Stres operasional ini disebabkan oleh pola kerja shift dan jam kerja yang harus mereka jalani. Selain itu, stres juga timbul dari pekerjaan harian mereka sebagai “pasukan perang” yang kemudian pulang ke rumah pada akhir hari.

Ada beberapa spekulasi tentang efek pada operator drone yang melakukan pengamatan atas target pembunuhan mereka dalam sebuah layar komputer beresolusi tinggi, yang seringkali butuh waktu beberapa hari. Dengan layar berresolusi tinggi, gambar nampak lebih jelas bagi operator drone dibanding pilot pesawat terbang. Waktu pengamatan yang panjang membuat pola hidup target bisa ditetapkan secara sangat detail: kapan waktu makan, shalat, ke toilet, teman, bahkan saudara bisa diidentifikasi. Hal ini bisa berpotensi menumbuhkan empati pada mereka.

Operator drone yang lebih tua dan berpengalaman menerbangkan pesawat tempur lebih berpotensi mengalami masalah dibanding pilot muda yang tidak pernah menerbangkan pesawat sama sekali. Pilot muda tumbuh bersama dengan game perang di komputer dan barangkali mempunyai ‘mentalitas playstation’. Salah satu iklan di Uni Emirat Arab yang membuka lowongan operator pesawat drone memberikan pertanyaan pada para pelamar, ‘Apakah Anda menikmati permainan di komputer?’[15]

Para pahlawan perang sebelumnya harus mengatasi resiko, ketakutan, rasa sakit dan ketidaknyamanan yang mereka alami saat perang. Mereka dihormati dan dihargai terutama jika perangnya dianggap perang yang adil. Fakta bahwa mereka rela mengesampingkan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan yang lebih besar juga membuat mereka mendapatkan penghormatan yang besar dari masyarakat. Sedangkan bagi operator drone, semua aspek pertempuran yang biasanya meningkatkan harga diri dan penghargaan dari orang lain tidak ada dalam karakteristik pekerjaan mereka. Justru pekerjaan semacam ini berpotensi mengikis citra operator drone serta citra pahlawan perang dalam benak masyarakat.

Selain itu, operator drone juga mengalami kelelahan fisik, dan bahkan disebut sebagai kru penerbangan paling lelah di militer.[16]Hal ini mungkin disebabkan oleh penumpukan adrenalin pada mereka yang terlibat dalam sebuah pertempuran atau melakukan respon atas penerbangan tanpa adanya jalan keluar secara fisik.

Pada akhir hari, operator drone pulang ke keluarga mereka, tanpa mengalami panas, debu dan rasa takut mati yang biasanya menyertai peperangan konvensional. Mereka juga tidak memiliki persahabatan sesama tentara dan kesempatan untuk berbagi perasaan berdasarkan pengalaman yang mereka alami.

MITOS EFEKTIVITAS

Saat presiden Obama mulai menjabat, dia bersumpah untuk mengakhiri perang melawan terror dan mengembalikan penghormatan pada hukum dalam kebijakan kontraterorisme Amerika Serikat. Namun kenyataannya, ia tak jauh berbeda dan sama kejamnya dengan para pendahulunya. Dimensi dasar kebijakan kontraterorisme Amerika tak jauh berbeda antara era Bush dan era Obama. Jika Bush menggunakan tentara untuk mempertahankan ‘peradaban’ melawan ancaman terorisme, Obama melakukan perangnya dalam bayangan, menggunakan serangan drone, operasi khusus, dan pengintaian canggih untuk melakukan pertempuran brutalnya melawan Al Qaeda dan kelompok Islam lainnya. Pendekatan Obama, yang menekankan pada sedikit ‘pasukan lapangan’ dan menghindari misi pembangunan negara, disebut oleh anggota pemerintahannya sebagai kebijakan yang efisien dan bahkan diperlukan secara moral, terkait dengan kondisi ekonomi Amerika dan kesiapan perang rakyat Amerika.[17]

Salah satu elemen pembeda paling khas dalam kebijakan Obama adalah penggunaan drone. Dalam periode pertama kepemimpinannya, Obama melancarkan serangan drone enam kali lipat lebih banyak dibandingkan serangan drone yang dilancarkan Bush selama delapan tahun masa kepresidenannya. Dan semuanya dilakukan secara rahasia tanpa pengawasan dari kongres dan pengadilan. Amerika kini menggunakan drone di beberapa negara, diantaranya Pakistan, Afghanistan, Yaman, Somilia, Libya, dan Mali.

Banyak pejabat AS berdalih bahwa drone sangat efektif dalam membunuh para pimpinan teroris di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh pasukan darat tanpa menimbulkan banyak korban sipil. Mantan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta berargumen bahwa drone sangat presisi dan mampu membatasi terjadinya collateral damage dan merupakan satu-satunya alat yang mampu mengacaukan kepemimpinan Al Qaeda.[18] John Brennan, Direktur CIA, menyatakan bahwa penyerangan dengan drone adalah bijak, etis, dan diperlukan terkait dengan kenyataan bahwa kebanyakan serangan terjadi di tempat yang tidak bisa diakses.

Argumen mengenai efektivitas drone bisa dibagi dalam empat klaim utama:

1. Drone sangat efektif dalam membunuh teroris dengan efek korban sipil yang minimal

2. Drone sangat sukses dalam membunuh ‘target bernilai tinggi’

3. Penggunaan drone akan memberikan tekanan pada organisasi teroris dan menurunkan kapasitas dan kemampuan mereka untuk melakukan serangan.

4. Biaya yang lebih hemat dibandingkan pilihan lainnya, termasuk menerjunkan pasukan darat.

Namun, beberapa argumen diatas dinilai hanya berdasarkan fakta meragukan yang mencoba mengukur biaya serangan drone dibandingkan pengaruh serangan musuh yang bisa dicegah, yang seringkali baru bersifat hipotesa.

Pemerintah Amerika Serikat tidak pernah memberikan data yang jelas mengenai jumlah serangan drone atau jumlah korbannya. Karena tidak adanya statistik resmi dari pemerintah, sejumlah organisasi independen mencoba untuk menyediakan data berdasarkan laporan media dan sumber intelijen dengan data yang bervariasi.

Menurut data yang dikumpulkan oleh New America Foundation, terjadi 334 serangan drone di Pakistan antara Juni 2004 dan Oktober 2012. Obama bertanggung jawab atas peningkatan serangan drone dalam jumlah yang sangat signifikan tersebut, dimana 288 serangan (86 persen dari total) yang dilakukan di Pakistan terjadi di masa pemerintahannya, yaitu antara Januari 2009 dan Oktober 2012. Tidak ada data jumlah korban yang akurat dari serangan tersebut, yang ada hanyalah estimasi yang seringkali justru saling bertentangan. Kisaran korban tewas adalah antara 1.886 dan 3.191 selama periode 2004-2012, yang menunjukkan rata-rata 5,6-9,5 orang tewas per serangan.

Sedangkan menurut The Bureau of Investigative Journalism (TBIJ), telah terjadi 346 serangan drone yang dilakukan di Pakistan antara Juni 2004 dan Oktober 2012, dimana korban tewas antara 2,570-3,337 orang, yang menunjukkan rata-rata 7,4-9,6 korban tewas per serangan. TBIJ juga melaporkan bahwa antara 1.232 hingga 1.366 orang terluka dalam serangan drone di Pakistan selama periode tersebut. Di Yaman, TBIJ melaporkan 40-50 serangan drone dari 2002 hingga September 2012, dengan jumlah korban tewas antara 357 hingga 1.026 orang. Di Somalia, terjadi sekitar tiga sampai sembilan serangan drone, dengan jumlah korban tewas antara 58 hingga 170. Adanya variasi yang sangat tinggi mengenai jumlah sipil dan militan membuat reabilitas dan validitas laporan tersebut juga dipertanyakan. Pertama, hampir tidak mungkin untuk memverifikasi jumlah korban sipil dari serangan drone. Sebagian besar serangan tersebut terjadi di kawasan tak bertuan di Pakistan, Yaman, dan Somalia, dimana pemerintah pusat mempunyai kemampuan yang terbatas untuk memonitor serangan atau menginvestigasi pengaruhnya. Akibatnya, kebanyakan data jumlah korban hanya berdasarkan perkiraan. Lebih dari itu, kebanyakan korban segera dipindahkan dari area serangan dan dimakamkan pada waktu malam, yang membuat verifikasi jumlah dan identifikasi korban hampir tidak mungkin.[19] Kedua, pejabat pemerintah dan intelijen baik dari pihak Amerika Serikat maupun pemerintah setempat seringkali mencap tanpa bukti bahwa korban berasal dari pihak “militan” atau “sipil”.[20] Cap tersebut kemudian dianggap sebagai fakta oleh media sebagai satu-satunya data yang tersedia. Ketiga, jumlah korban seringkali dipelintir masing-masing pihak.[21] Kelompok Islamis cenderung memperbanyak jumlah korban ke media-media lokal dan internasional, sedangkan AS seringkali meremehkan jumlah korban, bahkan saat bukti adanya korban sudah terpampang di depan mata. Sebagai contoh, John Brennan menyatakan bahwa tidak ada satu pun korban sipil dalam serangan drone antara Juni 2010 sampai Juni 2011.[22] Bertentangan dengan bukti-bukti yang sudah konkrit, pejabat senior AS lainnya mengklaim bahwa jumlah korban hanyalah ‘satu digit’ dan laporan yang menyatakan ratusan korban sipil hanyalah dari orang-orang yang secara bodoh menggunakan propaganda musuh.[23] Sedangkan data dari sumber yang dianggap paling akurat diantara sumber yang ada, TBIJ, menyatakan bahwa jumlah korban sipil jauh lebih besar dari sekadar ‘satu digit’.[24]

Salah satu alasan kenapa AS berhasil memelintir data jumlah korban sipil adalah karena mereka menggunakan metode yang sangat kontroversial dalam menentukan data korban, yang dampaknya meningkatkan data jumlah korban ‘militan’ dan menurunkan jumlah korban sipil. Menurut laporan New York Times, AS memasukkan seluruh laki-laki usia militer di wilayah target sebagai militan kecuali ada bukti yang menunjukkan sebaliknya yang muncul setelah serangan.[25] Metode ini mengasumsikan bahwa setiap orang yang dekat dengan target pastilah ‘orang jahat’ karena tingginya tingkat keamanan operasional yang dilakukan oleh Al Qaeda. Asumsi ini tidaklah adil karena tiga alasan. Pertama, tak seorangpun—teroris kelas atas sekalipun—yang hidup sendirian. Sebagaimana yang terjadi dalam penggerebekan Usamah bin Ladin, banyak ‘teroris’ dan ‘militan’ yang tinggal bersama dengan keluarga mereka dan berinteraksi dengan banyak pihak seperti penjaga toko, supplier, sopir yang mereka tak bersalah dan sering berinteraksi dengan para ‘militan’ tersebut. Membunuh orang semacam itu dengan drone dan berasumsi bahwa mereka bersalah karena berhubungan dengan target (guilt by association) berarti melanggar prinsip kekebalan non-kombatan (non-combatant immunity) yang menjadi jantung hukum kemanusiaan internasional. Kedua, serangan drone kini meluas menyasar organisasi lain seperti Taliban, jaringan Haqqani, dan kelompok Islam lain yang lebih kecil yang mempunyai tingkat keamanan operasional lebih rendah dan mempunyai hubungan dengan penduduk sipil secara lebih cair dibandingkan dengan Al Qaeda. Dengan demikian, menggunakan drone untuk menyerang militan lokal akan berdampak pada semakin tingginya resiko korban sipil non-kombatan. Ketiga, banyak serangan terjadi di wilayah perkampungan (seperti di Waziristan), dimana menurut budaya lokal banyak anggota keluarga tinggal bersama di suatu tempat yang sangat sederhana. Dampaknya, serangan sangat mungkin membunuh atau melukai wanita dan anak-anak. Sebagai contoh, menurut laporan TBIJ, 176 anak-anak telah terbunuh oleh drone di Pakistan sejak Juni 2004 hingga September 2012.[26] Meskipun korban sipil kadang tak terelakkan dalam sebuah peperangan, namun pentargetan secara langsung ke perkampungan penduduk berpotensi mengakibatkan korban sipil sampai jumlah yang melebihi ambang yang dinilai proporsional.

Lebih daripada itu, pendekatan ‘guilt by association’ yang dilakukan Obama juga tidak pernah lebih dahulu menyatakan target sebagai tersangka, yang hal ini bertentangan dengan pertanggungjawaban secara legal dan moral.[27] Hasilnya, Amerika Serikat semakin longgar dalam menentukan standar penentuan target serangan drone. Konsekuensi dari pendekatan tersebut adalah dijadikannya masjid dan prosesi pemakaman sebagai target serangan yang membunuh warga sipil non-kombatan dan mengacaukan struktur sosial di tempat serangan tersebut berlangsung. Pada bulan Februari 2012, TBIJ melaporkan bahwa serangan drone Amerika Serikat di Pakistan telah menewaskan 50 warga sipil yang mencoba untuk menyelamatkan korban serangan drone sebelumnya.[28] Serangan drone ganda telah menyebabkan banyak korban sipil, karenanya pihak keluarga korban dan sukarelawan kemanusiaan kini enggan untuk datang membantu korban cedera karena khawatir mereka akan jadi korban serangan lanjutan. Dampaknya, mereka yang cedera seringkali dibiarkan menderita, dan terkadang sampai meninggal, karena kurangnya layanan medis. Serangan lanjutan tersebut sekarang umum terjadi yang akhirnya membuat salah satu organisasi kemanusiaan membuat kebijakan melarang stafnya untuk mendekati area yang diserang drone paling tidak sampai enam jam setelah serangan.[29]

Hal yang sama terjadi dalam serangan drone yang diarahkan ke upacara pemakaman. Menurut data TBIJ, paling tidak 20 warga sipil meninggal dalam serangan drone di upacara pemakaman.[30] Bahkan beberapa menaksir korban serangan ke pemakaman jumlahnya lebih tinggi lagi. Pada bulan Juni 2009, sebuah serangan drone yang menargetkan upacara pemakaman pimpinan Taliban Pakistan telah menewaskan 60 orang, termasuk beberapa tokoh Taliban.[31] Serangan semacam itu menggambarkan betapa standar proporsionalitas kini telah tergerus dengan serangan drone, karena Amerika Serikat kini melakukan serangan yang menewaskan lebih banyak korban sipil dibandingkan korban dari pihak kombatan. Serangan atas kegiatan-kegiatan sipil seperti upacara pemakaman dan serangan atas layanan darurat untuk membantu korban bukan hanya tidak adil dan tidak dibenarkan, namun juga merupakan sebuah kejahatan perang.

Sifat serampangan dari serangan drone juga bisa dilihat dari apa yang disebut sebagai ‘signature strikes’, dimana kriteria penargetan bukanlah status kombatan dari si target, namun karena ‘pola perilaku’ mereka.[32] Dalam hal ini, serangan bisa dilakukan tanpa harus mengatahui identitas target, cukup berdasarkan perilaku yang dianggap mencurigakan saja—seperti adanya perkumpulan di tempat yang diduga basis Al Qaeda, memuat truk dengan bahan yang nampak seperti material bahan peledak, atau melewati perbatasan berkali-kali dalam periode waktu yang dekat. Resikonya, akan ada banyak korban sipil tak berdosa yang akan terbunuh hanya karena misinterpretasi perilaku mereka oleh operator drone.[33] Salah seorang pejabat senior departemen pertahanan Amerika Serikat mengatakan bahwa ketika CIA melihat ada tiga orang melakukan jumping jack, mereka mengasumsikan bahwa tempat tersebut adalah kamp teroris.[34]

Klaim kedua mengenai efektivitas drone adalah kemampuannya untuk membunuh teroris kelas kakap (High Value Terrorists), yang didefinisikan sebagai pemimpin politik dan operator penting Al-Qaeda dan kelompok-kelompok terkait. Sejak kampanye hingga saat menjabat sebagai presiden, Obama secara konsisten menyatakan bahwa ia tidak akan ragu untuk menggunakan kekuatan mematikan untuk menghabisi tokoh penting Al-Qaeda. Namun catatan yang sebenarnya dari serangan drone menunjukkan bahwa pasukan Obama telah membunuh jauh lebih banyak operator kelas bawah serta rakyat sipil dibandingkan tokoh kunci Al-Qaeda.

Peter Bergen memperkirakan bahwa serangan drone telah menewaskan 49 ‘militan’ kelas atas sejak tahun 2004, atau hanya 2 persen dari total jumlah kematian akibat serangan drone, sedangkan 98 persen sisanya adalah operator kelas bawah—yang hanya beberapa di antara mereka yang terlibat dalam permusuhan langsung melawan Amerika Serikat—dan warga sipil. Korban-korban tersebut tidak pernah memberikan ancaman langsung kepada Amerika Serikat. Semuanya baru sekadar spekulasi, yang barangkali di masa depan mereka diperkirakan akan menyerang Amerika Serikat atau kepentingannya di luar negeri.[35] Bahkan meski Obama meningkatkan skala serangan dronenya, jumlah teroris kelas kakap yang terbunuh pun cenderung menurun atau hampir tidak ada peningkatan.[36] Pada tahun 2010, salah seorang pejuang jaringan Haqqani menyatakan bahwa ‘nampaknya Amerika Serikat ingin membunuh semua orang, tidak hanya para pimpinan.[37] Keputusan Obama untuk memperluas target pembunuhan sampai ke pasukan level bawah sekalipun merupakan sebuah tindakan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Hal ini membuat program drone Obama berbeda, baik skala maupun karakternya, dengan operasi pembunuhan target di tempat lain.

Kebijakan penargetan pasukan level bawah bukannya tanpa konsekuensi. Banyak dari mereka yang berasal dari suku lokal dan hidup dalam struktur masyarakat yang kekeluargaan. Kematian mereka akibat serangan drone barangkali akan mengakibatkan rasa dendam dalam benak keluarganya dan suku asal mereka, dimana hal ini akan membuat simpati dan keinginan untuk bergabung dengan Al Qaeda dan kelompok sejenis semakin meningkat. Sebagaimana yang dikatakan oleh David Kilcullen dan Andrew Exum, ‘setiap satu orang non-kombatan yang tewas merepresentasikan sebuah keinginan untuk balas dendam, dan sebagai alat rekrutmen bagi gerakan militan yang tumbuh secara eksponensial berbarengan dengan meningkatnya serangan drone.[38] Bahkan pimpinan oposisi Pakistan, Imran Khan, mengatakan bahwa kematian rakyat sipil dan pasukan level bawah menjadi alasan utama baginya memerintahkan angkatan udara Pakistan untuk menembak drone Amerika Serikat, jika ia terpilih jadi presiden nantinya.[39]

Ketiga, para pembela drone berpendapat bahwa drone sangat efektif dalam memberikan tekanan kepada organisasi teroris, menurunkan kemampuan serta kapasitas serangan mereka. Logika dari argumen ini adalah bahwa serangan drone akan memberikan tekanan pada para anggota teroris, kelompok mereka akan mulai retak, kehilangan kemampuan rekrutmen, dan akhirnya runtuh. Memang ada laporan yang menyatakan bahwa kelompok militan kini lebih sulit untuk beroperasi karena serangan drone. Kebutuhan untuk terus berpindah tempat secara konstan membuat mereka lebih sulit untuk melatih anggota dan merencanakan serangan.[40] Bahkan Al Qaeda mengakui dampak yang menghancurkan dari drone tersebut, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah publikasi bahwa ‘mereka melihat pembunuhan, perusakan, penangkapan, dan pengejaran.[41] Dalam sebuah tulisan yang ditemukan setelah kematiannya, Usamah bin Ladin merekomendasikan kepada para pimpinan Al Qaeda untuk meninggalkan Waziristan dan pergi ke tempat yang lebih aman untuk menghindari drone.[42]

Namun, menurut Michael J. Boyle bukti bahwa drone mampu membatasi ruang gerak operasional kelompok teroris dan mendorong mereka menuju keruntuhan agak samar dibandingkan perhitungan awal. Memang, jajaran Al-Qaeda di Pakistan telah melemah secara signifikan oleh serangan drone, namun anggotanya susah untuk dikatakan menyerah dalam pertempuran.[43] Ratusan anggota Al-Qaeda telah pindah ke medan perang di Yaman, Somalia, Irak, Suriah dan tempat lain.[44] Mereka membawa keterampilan, pengalaman dan senjata yang dibutuhkan untuk mengubah perang ini menjadi konflik yang lebih ganas, dan mungkin bersifat jangka panjang. Dengan kata lain, tekanan dari serangan drone mungkin telah membuat militan Al-Qaeda berserakan, tetapi serangan tersebut tidak mampu menetralisir mereka. Banyak anggota Al-Qaeda telah bergabung dengan kelompok-kelompok pejuang lokal di Suriah, Mali dan di tempat lain, sehingga memperdalam konflik di negara tersebut.[45] Dalam kasus lain, drone telah memicu munculnya gerakan militan lokal. Menyusul meningkatnya serangan drone di Yaman, keinginan untuk balas dendam membuat ratusan, jika tidak ribuan, masyarakat dari suku Yaman bergabung dengan Al-Qaeda Semenanjung Arab (AQAP), serta jaringan militan lokal yang lebih kecil.[46] Bahkan di Pakistan, di mana serangan drone telah melemahkan Al-Qaeda dan beberapa gerakan afiliasinya, kelompok-kelompok Islam lainnya telah mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Al-Qaeda. Dan beberapa kelompok, terutama yang tergabung dalam Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP), sekarang menimbulkan ancaman yang lebih besar kepada pemerintah Pakistan dari yang pernah dilakukan oleh Al-Qaeda sebelumnya.

Dinamika inilah yang membuat Amerika Serikat meluaskan targetnya dari yang awalnya berfokus pada Al Qaeda, kini mereka juga menggunakan drone ke arah Tehrik-i-Taliban (TTP), jaringan Haqqani, kelompok Mullah Nazir, kelompok Islam yang lebih kecil lainnya. Hasilnya adalah barangkali Amerika Serikat berhasil melemahkan musuh utamanya, Al Qaeda, namun mereka harus membayar dengan datangnya serentetan musuh baru, yang beberapa diantaranya mungkin mampu menyerang balik. Percobaan pengeboman di Times Square yang dilakukan oleh Faisal Shahzad, yang dilatih oleh TTP, adalah salah satu dampaknya.[47] TTP juga mengklaim bertanggungjawab atas penyerangan markas CIA di wilayah Khost Afghanistan pada tanggal 30 Desember 2009.[48]

EKSPLOITASI ANAKDALAM SERANGAN DRONE

Sifat pengecut dan tak bermoral juga ditunjukkan oleh AS dalam menjalankan program dronenya. Meski berteriak lantang ke dunia internasional sebagai pembela hak asasi manusia dan anak-anak, menuduh kelompok mujahidin mengeksploitasi anak, namun kenyataannya, justru mereka yang melakukan eksploitasi anak dengan memerintahkan mereka untuk menanamkan chip ke tempat target.

Anshar al-Shariah di Yaman merilis sebuah video yang mengungkapkan bahwa AS menggunakan anak kecil untuk menanamkan chip ke tempat target. Video tersebut menampilkan seorang bapak yang membuat pengakuan sebagai mata-mata drone dan menjelaskan peranan anaknya dalam pembunuhan Syaikh Adnan Al-Qadhy dan Syaikh Abu Ridwan. Berikut terjemahan video tersebut:

“Beberapa hari setelah tewasnya Syaikh Adnan Al- Qadhy, Allah memungkinkan para mujahidin untuk menangkap mata-mata yang bertanggung jawab atas kematian beliau.

Saya Hifdullah Muhammad Ahmed Al Dureib Kuleibi dari Dharmaar. Saya seorang ajudan di Garda Republik di Camp Sawaad. Saya tinggal di Qa’il Qedhi di Sana’a. Saya memiliki 6 orang anak. Ini adalah Barq anak saya. Sebelum Idul Adha, Mayor Jenderal Abdallah Al-Hamuud Jabry menelepon saya. Dia mengatakan kepada saya ‘Mayor Khalid Gleis akan mengunjungi Anda. Laksanakan segala yang ia arahkan.’ Akhirnya dia datang. Dia mengatakan kepada saya untuk membawa Barq dari rumah Al-Ahmar. Anak saya, Barq, sudah berada di Al Ahmar. Saya pergi dan mengambil anak saya, Barq, tiga hari sebelum Idul Fitri. Pada malam Idul Fitri, Mayor Khalid Gleis, Mayor Khalid Al Awbali dan Ajudan Jawaas mengunjungi saya. Mereka datang dan berkata, “Barq siap melayani negaranya, kami akan memberi Anda sebuah rumah mewah dan mobil mewah”. Mereka memberi saya 50.000 Riyal Yaman dan $233. Mereka mengatakan bahwa Barq akan membawa kita mencapai tujuan dan bahwa mereka akan memberi saya segalanya. Mereka mengatakan kepada saya untuk memberikan kepada Barq chip yang akan ia tanam di tubuh Adnan Al Qadhy. Akhirnya, saya memberikannya kepada Barq setelah mereka menjelaskan kepadanya tentang cara menanam dan mengaktifkannya.

Inilah realitas Amerika yang mengklaim sebagai negara yang paling kuat di dunia, dan sesumbar bahwa dia adalah pelindung hak asasi manusia dan berada dalam barisan terdepan dalam melindungi hak-hak anak dari ancaman apapun.

Percakapan Antara Mata-Mata Drone Dan Anaknya, Barq

Anak :“Saya Barq Hifdullah Muhammad Dureib. Ayah memberi saya chip untuk ditanam di tubuh Syaikh Adnan Al Qadhy. Dia memberikannya pada  malam Idul Fitri. Setelah itu, mereka melatih saya cara mengaktifkannya. Lalu saya pergi ke Sanhaan (kediaman Syaikh Adnan). Mereka mengatakan kepada saya untuk mengaktifkannya pada hari Rabu atau Kamis.

Ayah    :”Siapa yang menyuruhmu?”

Anak    :“Mayor Khalid Gleis, Mayor Khalid Al Awbali dan Ajudan Jawaas, ketiganya.”

Ayah  :“Siapa di antara mereka yang melatihmu terlebih dulu?”

Anak    :“Mayor Khalid, teman Anda. Lalu saya pergi. Mereka mengatakan kepada saya untuk mengaktifkannya pada hari Rabu atau Kamis. Jadi pada Rabu ketika ia (Syaikh Adnan Al-Qadhy) memasuki kamar mandi. Saya naik ke atas meja dan menempatkan chip di sakunya. Yang kedua saya tempatkan di bawah lemari dan kemudian saya menunggu. Lalu saya kembali ke rumah tersebut dan menghilangkan chip kedua. Kemudian saya pergi.”

OPINI PUBLIK

Pew Research Centre melakukan survey publik dengan memberi pertanyaan berikut: ‘Apakah anda setuju atau menolak Amerika Serikat melakukan serangan rudal dari pesawat tak berawak yang disebut drone untuk menargetkan ekstremis di negara-negara seperti Pakistan, Yaman dan Somalia?’ Hasilnya didapati penentangan yang cukup luas terhadap serangan pesawat drone Amerika Serikat di negara-negara tersebut, khususnya di kalangan perempuan. Namun, penentangan yang agak lebih sedikit terjadi pada publik di AS, Inggris dan India.

Pew Research Centre Report http://www.pewglobal.org/2012/06/13/global-opinion-of-obama-slips-international-policies-faulted/

New America Foundation dan Terror Free Tomorrow melakukan wawancara tatap muka terhadap 1.000 orang dewasa (18 tahun atau lebih), dari seluruh tujuh distrik di Wilayah Kesukuan Federal (FATA) di Pakistan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% menentang serangan pesawat drone dan 48% percaya bahwa warga sipil menjadi mayoritas korban serangan pesawat drone. Hanya 16% yang berpikir bahwa serangan pesawat drone sebagian besar menewaskan militan. Dari 1.000 responden, 83% memiliki pandangan negatif terhadap Presiden Obama dan 90% menentang militer AS. Sementara 10% mengatakan bahwa serangan bunuh diri bisa dibenarkan terhadap pasukan Pakistan, sedangkan hampir 60% mengatakan serangan bunuh diri bisa dibenarkan terhadap pasukan AS.

Serangan pesawat drone sering dibenarkan dengan alasan bahwa mereka dibutuhkan untuk mengalahkan terorisme, terutama jika target berada di lokasi yang sulit dijangkau. Namun, yang terjadi justru sebaliknya; serangan drone berhasil menjadi agen rekrutmen untuk organisasi seperti al-Qaeda dan justru memicu kekerasan dan kebencian terhadap AS.

Sebuah bom mobil yang gagal di Times Square bulan Mei 2010 danbom bunuh diri ganda di Pakistan pada tahun 2011 diyakini sebagai pembalasan atas serangan drone AS di negara itu.

Pew Research Centre Report: http://www.pewglobal.org/2012/06/13/global-opinion-of-obama-slips-international-policies-faulted/

Serangan drone pada orang yang diduga pemimpin Taliban Pakistan justru menewaskan setidaknya 40 orang pada Maret 2011, termasuk orang tua dan warga sipil lainnya di wilayah Waziristan Utara. Hal ini menyebabkan kepala suku menyerukan balas dendam.[49] Jendral Ashfaq Parvez Kayani, pemimpin militer Pakistan mengatakan, “sangat disesalkan bahwa jirga dari warga yang penuh kedamaian, termasuk para orang tua, dihantam oleh sebuah serangan yang ceroboh dan tanpa perasaan dengan mengabaikan kehidupan manusia… Tindakan kekerasan seperti ini melenceng dari tujuan utama kita untuk menghapus terorisme.”[50]

PERSOALAN MORAL DAN ETIKA PERANG

Moralitas didefinisikan sebagai “deretan perilaku terkait dengan orang lain yang saling berhubungan yang mengolah dan mengatur interaksi yang kompleks dalam kelompok sosial.”[51] Hal ini mengacu pada kemampuan untuk memahami atau berempati dengan lawan Anda. Dalam Perang Dunia I ketika lawan sedang bermain sepak bola pada hari Natal ada semacam pemahaman dan penghormatan untuk tidak menyerang mereka. Namun, hal ini semakin lama semakin terkikis. Baru-baru ini Pusat Doktrin, Konsep, dan Pengembangan di Kementerian Pertahanan Inggris mencatat perlunya “memastikan bahwa, dengan menghapus beberapa horor, atau setidaknya menjaganya agar tetap di kejauhan, kita tidak kehilangan pengendali kemanusiaan kita.”[52]

Kemampuan untuk membunuh dan melukai dari jarak yang jauh dari musuh Anda selalu menjadi keuntungan dalam peperangan. Jangkauan panah memberikan kemenangan kepada Inggris pada Perang Agincourt. Kekuatan udara menggabungkan keuntungan jarak dan kemampuan untuk cepat meninggalkan tempat serangan. Hal ini sangat menguntungkan terutama jika musuh tidak memiliki kekuatan udara atau senjata anti-pesawat, seperti yang umumnya terjadi dengan pihak yang menjadi target drone.

Pihak Kementerian Pertahanan Inggris telah menyatakan keberatannya atas drone, namun ia juga mengatakan bahwa aspek negatifnya harus “ditempa” oleh kenyataan bahwa “penggunaan pesawat drone mencegah potensi hilangnya nyawa pilot dan dengan demikian dengan sendirinya secara moral dibenarkan.”

Bom atas sipil menimbulkan masalah moral tidak hanya bagi mereka yang mengarahkan operasi, namun juga mereka yang melakukan serangan. Hal ini berkaitan dengan kematian warga sipil dan kegagalan untuk mencegah konflik lebih lanjut. Kematian warga sipil yang terjadi sebagai akibat serangan drone juga kontraproduktif, meningkatkan kebencian dan kegetiran di antara penduduk setempat.

Drone telah menghancurkan kestabilan hidup masyarakat di Pakistan, Yaman, dan Somalia. Banyak cerita tentang terbunuhnya masyarakat yang tak bersalah dari kalangan laki-laki, wanita, dan anak-anak. Masyarakat setempat banyak yang meninggalkan keluarga dan rumah mereka akibat kekerasan dan ancaman kematian yang mereka alami setiap hari.

Robert Grenier, yang sebelumnya bertanggung jawab atas kontraterorisme CIA memperingatkan “Kami telah pergi jauh menyusuri jalan yang menciptakan situasi di mana kami membuat lebih banyak musuh daripada yang kami hilangkan di medan perang. Dan kita sudah menyusuri jalan itu di Pakistan dan Afghanistan.”[53] Serangan Drone telah meningkatkan ketegangan antara AS dan Pakistan. Setelah serangan terhadap sebuah pangkalan militer di utara barat Pakistan pada November 2011 yang mengakibatkan kematian 24 tentara Pakistan, Pakistan menutup dua rute pasokan ke Afghanistan. Rute pasokan tersebut dibuka kembali pada bulan Juli 2012, menyusul permintaan maaf AS.

Ada juga beberapa bukti bahwa serangan drone dapat meningkatkan frekuensi misi bunuh diri. Sebuah serangan bunuh diri di sebuah pangkalan militer di Khost, Afghanistan pada bulan Desember 2009, mengakibatkan kematian tujuh agen CIA. Dalam video pembom bunuh diri mengatakan” Serangan ini akan menjadi yang pertama dari operasi balas dendam terhadap Amerika dan tim drone mereka di luar perbatasan Pakistan.”[54]

Drone telah menurunkan ambang konflik. Di masa lalu, para pemimpin harus menyeimbangkan antara keinginan untuk pergi berperang dengan kemungkinan kehilangan tentara yang dikerahkan ke medan tempur.[55] Peti mati dan veteran cacat yang pulang ke rumah terkikis dukungannya selama perang Vietnam, Afghanistan, dan Irak.

Ke depan, bisa jadi drones menjadi senjata reguler dalam perang, dalam rangka menghindari sentimen anti-perang dari publik dan untuk mengurangi biaya politik yang biasanya diperlukan dalam memulai intervensi militer. Drone dapat menyebabkan perang dunia global, di mana orang dapat menemukan diri mereka dalam teater perang secara harfiah di setiap tempat di planet ini.

Sifat merusak dan tak bermoral dari drone juga menempel pada pihak yang menggunakannya, mengancam etos ksatria yang dijunjung tinggi oleh para prajurit dalam sebuah peperangan. Pembunuhan yang dilakukan dengan drone tak ubahnya seperti pembunuhan kriminal biasa, saat prajurit melakukannya tanpa ada risiko sedikitpun. Hal inilah yang membuat menteri pertahanan Amerika Serikat, Chuck Hagel, membatalkan medali penghargaan bagi operator drone.

Pembunuhan dengan joystick juga merupakan cara yang tak terhormat dalam sebuah pertempuran. Bukan hanya karena sering mengakibatkan terbunuhnya rakyat sipil, wanita, dan anak-anak, ia juga menghilangkan peluang para kombatan berhadap-hadapan secara fisik. Ia membuat perang tak ubahnya seperti video game. Operator ‘menentukan’ mati tidaknya ‘obyek kecil’ yang berada dalam layar komputernya. Perang pun berubah menjadi sebuah pembunuhan.

BERLOMBA DENGAN DRONE

Banyak negara kini telah membeli drone atau mengembangkannya sendiri dengan bantuan salah satu dari dua produsen utama, AS dan Israel.

Dalam salah satu laporannya tentang pasar drone, analis pasar Visiongain mengatakan bahwa “AS menguasai pasar pesawat tanpa awak karena ia menggabungkan sistem tersebut dengan seluruh layanan senjatanya dan pada berbagai level, sedangkan Israel merupakan eksportir utama dan kunci pasar pesawat tanpa awak.

Meskipun tidak sebesar pasar AS, permintaan dari Eropa sangat kuat terutama dari Inggris, Prancis, dan Jerman. Demikian juga permintaan dari negara Pasifik seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Visiongate mengestimasi bahwa pasar drone secara total hampir mendekarti $71bn (£46bn) antara tahun 2010-2020. Menurut perusahaan pesawat terbang milik Israel, “Israel adalah eksportir utama drone, dengan lebih dari 1.000 drone telah dijual ke berbagai negara yang membuat Israel mendapatkan sekitar $350m/tahun.

SENJATA MASA DEPAN

Drone adalah pesawat terbang otomatis yang digunakan untuk mengawasi dan mengebom. Mereka mengambil gambar dari sebuah daerah sebagaimana satelit, namun ia bisa menyiarkan secara langsung video gambar tersebut secara detail. Bahkan ia mampu menzoom sampai ke tingkat wajah, untuk mengenali wajah target. Karena drone saat ini terbang di atas awan, mendung yang cukup kelam adalah momen yang tepat untuk melarikan diri ke tempat persembunyian bagi para gerilyawan. Ke depan, drone diprediksi akan makin canggih dan banyak digunakan  dalam peperangan; mulai dari membantu pasukan mengawasi wilayah yang ia merasa tidak nyaman, melempar bom, mengawasi setiap sudut, dan bahkan melakukan ‘serangan bunuh diri’ ke arah target. Sangat mungkin drone di masa depan akan terbang di bawah awan, karena teknologi drone semacam itu saat ini sudah ditemukan, bahkan mampu terbang sampai ke tingkat ketinggian terbang serangga! Kelemahan teknologi tersebut adalah mereka lebih mudah ditembak jatuh. Bahkan, sangat mungkin drone tersebut dihack dan digunakan untuk menyerang balik pasukannya sendiri.[56]

Gambar Drone Taranis

Angkatan Udara AS berencana membuat drone yang lebih besar, menggantikan bom (bahkan bom nuklir) dan pesawat tempur di masa depan.[57] Drone masa depan akan lebih otonom, mampu untuk tinggal landas, terbang, menyeleksi dan membunuh target tanpa keterlibatan manusia. Salah satu contohnya adalah drone Inggris yang diberi nama Taranis. Taranis secara virtual tidak bisa dideteksi oleh radar, cepat, mampu membawa dan menggunakan sejumlah sistem persenjataan, dan mampu mempertahankan diri dari serangan pesawat berawak atau tanpa awak milik musuh.

Professor Noel Sharkey dari Sheffield University mengatakan bahwa “tidak lama lagi drone akan mampu memutuskan diantara mereka sendiri drone mana yang akan menyerang target mana.” Nampaknya, langkah terdekat soal penggunaan drone adalah memindahkan dari ‘in-the-loop’ ke ‘on-the-loop’, dimana operator memonitor banyak drone dalam satu waktu.”[58]

Diprediksi, senjata masa depan akan lebih kecil, lebih ringan, dan lebih lincah, dengan kemampuan untuk mengintai menggunakan berbagai teknologi yang ada (seperti penglihatan malam, infrared, dll). Selain itu mereka juga akan dilengkapi dengan komunikasi GPS untuk mengumpulkan seluruh data yang ditemukan ke dalam satu database pusat. Nanotechnology akan digunakan secara sangat luas untuk keperluan ilmu pengetahuan dan perang masa depan. Ilmu inilah yang harus dipelajari oleh umat Islam sebagai salah satu prioritas utama.[59]

22 TIPS AL-QAEDA UNTUK MENGHINDARI SERANGAN DRONE

Sebagai perlawanan menghadapi aksi brutal drone yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutunya, kelompok Al Qaeda mencoba untuk berbagi tips untuk menghindari drone, dalam sebuah dokumen yang ditulis oleh Abdullah bin Muhammad pada tahun 2011 silam. Dokumen ini ditemukan oleh Associated Press di Timbuktu, Mali. Berikut terjemahan lengkapnya:

Sebagaimana yang sudah saya ungkapkan dalam artikel saya yang berjudul “Strategi Kemampuan untuk Ansar Al-Shariah” bahwa pembalasan dendam Amerika Serikat melawan gerakan militer mujahidin di provinsi Abyan akan terbatas pada serangan drone. Dugaan saya semakin terbukti dengan keluarnya artikel dari New York Times yang menyatakan bahwa CIA akan menangani program tersebut, dan untuk itu, mereka akan membangun basis militer rahasia untuk drone di negara tetangga.[60] Karenanya penting bagi kita untuk memahami strategi ini  dan mendiskusikan cara untuk melumpuhkan strategi ini.

Pertama, kita harus paham bahwa Amerika Serikat mengambil pendekatan drone ini bukan karena mereka kekurangan jet tempur seperti F16 dan tipe lainnya, atau karena mereka tidak punya cukup pasukan lagi, tapi mereka mengambil pilihan ini karena menurut mereka drone adalah pendekatan yang paling cocok bagi mereka saat ini. Amerika sangat paham bahwa mereka sudah 10 tahun berperang dan secara ekonomi mereka sudah terkuras, menderita kehilangan personil, dan tekanan dari publik yang semakin meningkat—dan didukung oleh Kongresuntukmenarik pasukan dari wilayah perang. Namun, hal ini bukanlah berarti bahwa mereka meninggalkan perang, sebaliknya mereka berusaha mencari strategi militer alternatif yang membuat mereka mampu melanjutkan perang tanpa terkuras secara  ekonomi, tanpa resiko kehilangan nyawa serta terhindar dari tekanan opini publik.

Disini, perang menggunakan drone dipandang sebagai solusi yang sempurna. Pesawat tanpa awak berbiaya jauh lebih murah dibandingkan jet tempur berawak. Ia juga tidak akan menimbulkan kemarahan publik ketika ia kecelakaan. Meningkatnya korban tentara Amerika Serikat sebelumnya telah mendorong publik Amerika Serikat untuk turun ke jalan meneriakkan “pulangkan anak kami”, sedangkan jika drone kecelakaan tidak ada yang akan berteriak “pulangkan pesawat kami.”

Sebagai perbandingan, biaya 1.000 drone sama dengan harga sebuah Eagle Jet F15. Jika kita berbicara tentang model-model terbaru, seperti Predator,hanya berbiaya $ 10 juta, sedangkan biaya dari F16 adalah $ 350 juta. Bahan bakar untuk 200 kali penerbangan sebuah pesawat drone sama dengan bahan bakar yang dikonsumsi oleh satu kali penerbangan Phantom jet F4. Pelatihan seorang pilot Tornedo berbiaya 1 juta Poundsterling, sedangkan biaya pelatihan operator drone nyaris nol dan hanya butuh waktu tiga bulan. Oleh karena itu, Amerika telah memilih sebuah perang yang nyaman untuk membuktikan kepada kita ketidakpedulian mereka untuk perang yang panjang.

Untuk ini, mereka menunjuk komandan pasukan Amerika di Afghanistan, David Petraeus sebagai direktur CIA[61], untuk memimpin perang dari sana, yang terbukti sukses di Waziristan dan mereka akan coba terapkan sekarang ini di Yaman. Lalu, apa yang harus dilakukan? Saya percaya bahwa menggagalkan strategi ini tergantung pada tiga hal: pembentukan opini publik untuk menentang operasi ini, menghalangi para mata-mata, dan taktik penipuan dan pengaburan.

Taktik tersebut antara lain:

  1. Untuk mengetahui intensi dan misi dari sebuah drone, bisa digunakan peralatan “sky grabber” buatan Rusia yang berfungsi untuk menginfiltrasi gelombang dan frekuensi drone. Perangkat ini tersedia di pasar seharga $2.595. Operator alat ini sebaiknya orang yang paham komputer.
  2. Gunakan alat yang memancarkan frekuensi untuk memutuskankontak dan membingungkan frekuensi yang digunakan untuk mengontrol drone. Mujahidin telah sukses bereksperimen dengan menggunakan “Racal” buatan Rusia.
  3. Pasang potongan kaca yang memantulkan cahaya di mobil atau di atap bangunan.
  4. Tempatkan sekelompok sniper yang terampil untuk memburu drone, terutama drone pengintai, karena mereka biasanya terbang cukup rendah, sekitar enam kilometer atau kurang.
  5. Lakukan jamming[62] untuk membingungkan komunikasi elektronik dengan menggunakan dinamo pengangkat air (water-lifting dynamo) yang dilengkapi dengan tiang tembaga 30 meter.
  6. Lakukan jamming untuk membingungkan komunikasi elektronik dengan menggunakan peralatan sederhana, dan biarkan ia menyala 24 jam karena frekuensinya yang cukup kuat. Sangat dimungkinkan untuk menggunakan alat yang sederhana untuk menarik perhatian peralatan gelombang elektronik, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh tentara Yugoslavia yang menggunakan microwave (oven) untuk menarik dan membingungkan rudal NATO yang dilengkapi dengan perangkat pencarian elektromagnet.
  7. Gunakan metode pengelabuan umum dan jangan gunakan markas secara permanen.
  8. Tempatkan jaringan pengintai untuk menemukan keberadaan pesawat drone,dan beri peringatan kepada semua formasi untuk menghentikan segala gerakan di daerah tersebut (jika didapati keberadaan drone).
  9. Sembunyi agar tidak terlihat secara langsung maupun tidak langsung, terutama pada malam hari.
  10. Sembunyi di bawah pohon-pohon besar karena mereka adalah cover terbaik dari pengawasan pesawat.
  11. Tinggal di tempat-tempat yang tidak tersinari matahari secara langsung seperti bayangan bangunan atau pohon.
  12. Matikan secara total kontak nirkabel.
  13. Segera turun dari kendaraan dan menjauh darinya terutama ketika dikejar atau saat pertempuran.
  14. Kelabui drone dengan memasuki tempat yang mempunyai banyak pintu masuk dan pintu keluar.
  15. Gunakan tempat perlindungan bawah tanah karena rudal yang ditembakkan oleh drone biasanya bersifat anti-personil, bukan tipe anti-bangunan.
  16. Hindari berkumpul di area terbuka, dan dalam kasus yang mendesak gunakan bangunan yang mempunyai banyak pintu masuk atau keluar.
  17. Bentuk kelompok anti-mata-mata untuk mencari agendan mata-mata drone.
  18. Bentuk pertemuan palsu dengan menggunakan boneka dan patung yang ditempatkan di luar parit palsu untuk mengelabui musuh.
  19. Ketika kita mendapati bahwa pesawat drone mengejar mobil kita, segera tinggalkan mobil dan semua orang harus pergi ke arah yang berbeda karena pesawat tidak bisa mengejar semua orang secara bersamaan.
  20. Gunakan barikade alam seperti hutan dan gua ketika ada kebutuhan mendesak untuk pelatihan atau pertemuan.
  21. Di daerah yang sering menjadi sasaran, gunakan asap sebagai cover dengan cara membakar ban.
  22. Untuk para pimpinan atau mereka yang buron, jangan gunakan peralatan komunikasi, karena musuh biasanya menyimpan kartu suara di mana mereka dapat mengidentifikasi orang yang berbicara dan kemudian menemukannya.

Menghalangi mata-mata:

Drone yang digunakan dalam serangan di Lembah Swat sangat bergantung pada chip yang ditempatkan pada target oleh mata-mata sehingga rudal bisa meluncur menuju target tersebut. Mata-mata adalah pilar utama operasi ini, karena itu diperlukan strategi pencegah yang tepat atas orang-orang yang mungkin berani melaksanakan misi ini. (Jika berhasil ditangkap), gantung mereka di tempat umum dengan tanda yang tergantung di lehernya bertuliskan “Mata-Mata Amerika”, atau cara lain seperti yang dilakukan untuk (mata-mata Israel yang digantung di Suriah) Levy Cohen atau (mantan presiden Afghanistan) Najibullah.

Pembentukan opini publik untuk menentang serangan ini dan untuk menghasut demonstrasi di Arab dan negara Islam.

Saya pikir langkah-langkah ini mampu, dengan izin Allah, mematahkan strategi baru Amerika pada tingkat menengah atau jangka panjang. Hal ini tidak semua kita miliki. Selain itu, ada solusi emas yang memperpendek jarak yang jauh, yang dengannya kita bisa kembali memberikan tekanan pada opini publik Amerika dengan cara yang lebih aktif, yaitu dengan strategi penculikan yang ditukar dengan strategi drone, dimana kita tidak akan berhenti melakukannya sampai mereka menghentikan strategi tersebut. Cara ini memungkinkan seluruh pendukung jihad untuk berpartisipasi dalam mengalahkan Petraeus dan strategi barunya tersebut. Kita mulai menculik warga Barat di berbagai tempat di dunia, baik di Maghribi, Mesir, Irak atau tempat penculikan lain yang mudah melakukan penculikan. Satu-satunyapermintaan adalah penghentian serangan terhadap warga sipil di Yaman—yang merupakan permintaan yang adil dan manusiawi. Hal ini akan menciptakan dukungan masyarakat dunia dan tekanan publik di Amerika karena mereka sedang terluka lagi. Karena itu, kita menyasar ke inti strategi nasional mereka, yang jika berhasil digagalkan Amerikaakan runtuh. Kita juga akan mengambil bagian dalam meletakkan sebuah batu dalam pembentukan Negara Islam yang dijanjikan di Semenanjung Arab.

Jika ada taktik atau alat pencegah lainnya, silahkan tambahkan di sini sehingga manfaatnya akan lebih luas. Saya berdoa kepada Allah untuk menyelamatkan kita dari makar Amerika dan mengubah makar ini melawan mereka.”

Ditulis oleh Abdullah bin Mohammad

15 Rajab, 1432 H / 17 Juni 2011

(K. Mustarom)

 

source : http://syamina.org/syamina5-DRONE-Perang-Tanpa-Moralitas-Ala-Amerika.html

This entry was posted in Drone. Bookmark the permalink.